A. PENDAHULUAN
Studi tentang Ibnu Taimiyah bila dikaitkan dengan Tasauf, lebih banyak merupakan suatu kritik dibandingkan dengan konsep-konsep aplikasi ajaran tasauf. Dalam banyak pemikiran yang berserakan, terdapat kecenderungan bahwa penilaian terhadap sosok ibnu Taimiyah, seperti halnya juga dengan Al-Ghazali, Al-Syafi'i, lebih banyak menitikberatkan pada pemikirannya yang menonjol dan menjadi kecenderungannya. Al-Syafi'i diidentifikasi sebagai pemikir Fiqh, Al-Ghazali berkompeten dalam Tasauf, sedangkan Ibnu Taimiyah menduduki posisi yang tidak terlalu menonjol dalam bidang tertentu.
Berikut ini adalah suatu kajian yang menitikberatkan pada pembahasan tentang sosok Ibnu Taimiyah dalam hubungannya dengan Tasauf. Untuk kepentingan ini maka penulis akan berusaha mengumpulkan bukti-bukti tentang pemikirannya yang ada hubungannya dengan tasauf, dengan terlebih dulu mempelajari sejarah hidupnya, watak dan kepribadiannya, setting historis, serta garis besar pemikiran dan ide-idenya. Secara khusus dalam kaitannya dengan pemikiran tasaufnya, maka penulis berusaha untuk menggali kronologi pemikiran tasauf, terutama pada masa seputar kehidupannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengemukakan pengaruh pemikirannya sampai dengan abad ke duapuluh ini.
Karena terbatasnya literatur yang kami miliki, usaha untuk mengungkapkan semua itu tidak dapat tersaji secara lengkap. Untuk ide-ide pokoknya memang akan kami ambil dari beberapa karangannya, tetapi untuk kelengkapan data-datanya, kami ambil dari bahan-bahan skunder yang tersebar sampai saat ini, baik dalam bentuk ulasan para ahli, hasil penelitian, maupun Ensiklopedi.
B. SEJARAH HIDUPNYA.
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran, Turki pada tahun 1263 M. dan meninggal di Damaskus tahun 1328 M1. Sejak berusia tujuh tahun ia terpaksa mengungsi ke Damaskus, disebabkan serangan tentara Mongol yang semakin gencar. Semasa kecil ia senantiasa hidup dalam kesulitan dan penderitaan, yang kelak akan mempengaruhi ketegaran pemikirannya. Sejak itu ia belajar Al-Qur'an dan menghafalnya. Belajar hadits dari musnad Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan lain-lainnya. Selain itu berbagai bidang ilmu pengetahuan keislaman seperti Fiqh Madzhab Hambali, Bahasa Arab, bahkan karya-karya Kalam Mu'tazilah, Asy'ariyah, Filsafat Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Tasauf Ibnu 'Araby dipelajarinya.2
Ilmu-ilmu tersebut ditekuninya dengan belajar pada ayahnya sendiri Syihabuddin yang juga seorang ulama Madzhab Hambali, pamannya yang bernama Fakhruddin, di samping ia sendiri membaca karya-karya tersebut secara otodidak. Kompetensinya dalam Kalam dan Filsafat ini menjadikannya layak memberikan kritik dan alternatif terhadap pemikiran yang berkembang di kedua disiplin tersebut.
Pada usia duapuluh tahun ia sudah mulai aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, terutama yang berhubungan dengan Syari'ah, Ibadah, dan tak kalah pentingnya adalah Tauhid. Ia sering diundang dalam pertemuan polemik dan debat dalam soal-soal agama di Damaskus.3 Keahliannya ini akhirnya ia mendapatkan gelar Syaikh. Sepeninggal ayahnya, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru Hadits dalam sebuah madrasah di Damaskus. Ketekunannya dalam ilmu tidak menjadikannya lupa pada dunia luar. Ia juga sering turut dalam peperangan melawan kehadiran tentara Mongol di Damaskus.4 Berbeda dengan ulama-ulama pada umumnya di zamannya, ia menolak untuk terlalu dekat dengan penguasa. Sebab menurutnya hal itu akan membawanya lupa kepada missi keilmuan dan nuraninya.5 Ketegasan dan ketegarannya dalam menentang praktek bid'ah mengakibatkan ia sering difitnah dan dipenjara beberapa kali.6
C. GARIS BESAR PEMIKIRANNYA.
Dalam banyak tulisannya Ibnu Taimiyah seringkali merupakan kritik dan tanggapan terhadap beberapa pandangan Kalam, Filsafat, Tasauf maupun bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu agak sulit untuk merumuskan orientasi pemikirannya secara terfokus. Barangkali lebih mudah untuk mencermati karakteristik metodologi pemikirannya, sehingga akan nampak jelas bagaimana ia sebenarnya. Secara umum pemikirannya adalah, ia berusaha untuk mengembalikan semua pilar pemikiran Islam kepada konsep syariah, sebagai konsep alternatif untuk memberikan jalan keluar dari melebarnya jurang pemisah antara kecenderungan pemikiran rasional (Falsafah, Kalam) dengan pemikiran Sufi yang menekankan hakekat, serta pemikiran hukum (fiqh) yang cenderung formalistis. Dalam karyanya Al-Radd ala al-Manthiqiyin, ia mengkritik Filsafat spekulatif Metafisika bukan terutama pada materinya, tetapi justru pada aspek epistemologinya yang nampak dalam sistem logika yang digunakan. Sebagai gantinya ia menawarkan konsep kunci "al-Haqiqah fi al-a'yan la fi al-adzhan"7. Menurutnya Filsafat Islam telah terlalu banyak dimasuki unsur Hellenisme yang justru menyebabkan kemunduran ummat Islam. Terhadap Kalam, ia berpendapat bahwa Kalam tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya Kalam, sebagaimana filsafat, telah terlalu banyak menggunakan logika Aristoteles.8 Dalam kondisi seperti itu, ia menyerukan agar ummat Islam bangkit, dengan meninggalkan segala macam bid'ah, serta menganjurkan ijtihad, sebab dengan cara inilah ummat Islam dapat menegakkan eksitensinya di tengah penindasan orang luar. Dalam masalah Tasauf, ia memiliki konsepsi tersendiri yang berbeda dengan ulama pada umumnya. Inilah yang secara khusus akan penulis kemukakan dalam tulisan ini. Seirama dengan pemikirannya itu, ia secara umum seringkali dikatakan berfaham salaf. Hal ini nampak dalam tulisan-tulisannya yang tidak terlalu banyak memberikan uraian dalam memahami Al-Qur'an. Menurutnya tafsir yang baik adalah menafsirkan ayat dengan ayat. Sebagai ulama yang bermadzhab Hambali, ia lebih banyak menggunakan Hadits untuk mendukung argumentasi-argumentasinya.9 Konsekwensinya, ia menentang semua bentuk bid'ah baik dalam pemikiran (takwil) maupun ibadah.
D. PEMIKIRAN TASAUF.
Sedikitnya terdapat dua hal yang menjadi inti pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tasauf. Kedua hal tersebut adalah tentang Keabsahan tasauf sebagai jalan menempuh kebenaran (Sufisme), serta praktek-praktek tasauf dan Tarekat yang berkembang waktu itu.
Tentang keabsahan Tasauf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasauf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Bahkan makrifah, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan
akhir kegiatan tasauf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran.10 Menurutnya, tujuan akhir kehiduan manusia adalah ibadah. Baginya tasauf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Kasyf sebagai pengalaman religius semestinya dibawa pada tingkat intelektual yang dapat dipertanggungjawabkan.11 Meskipun ia mengakui keabsahan metode eksperimental tasauf, tapi ia menyarankan agar Tasauf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji kebenaran konsepnya. Satu hal yang menurutnya amat membahayakan adalah konsep Wahdah al-wujud, yang cenderung mengaburkan perbedaan antara khaliq dengan mahluk.12 Ekses dari konsep tersebut ternyata banyak disalahgunakan, misalnya, bila seseorang (Wali, Syaikh) telah mengganggap dirinya sampai pada tingkat ittihad, maka ia berada di luar batas-batas ketentuan Syariah.13 Terhadap ini, ia mengemukakan beberapa konsep kunci, antara lain tentang wali.14
Baginya kewalian bukan sesuatu yang tetap, tetapi relatif. Seseorang yang dekat dengan Allah, karena ketaatan dan kesuciannya, akan mengantarkannya pada kedudukan wali. Kebalikannya adalah bila seseorang berbuat maksiyat, sesuatu yang dilarang dalam agama, maka orang tersebut dapat kehilangan kedudukannya sebagai wali (kekasih Allah).
Yang kedua, adalah praktek Tasauf (Tarekat). Ia antara lain mengakui bahwa wali mempunyai karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma'shum dari kesalahan, dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak lebih afdhal dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur Nabi atau oang-orang Shaleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah, dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada allah, langsung berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapapun. Demikian juga ziarah kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah. Menurutnya taqarrub kepada Allah dapat dilakukan dengan mengamalkan amalan-amalan wajib maupun sunnah.
Mengenai cinta pada Allah, ia memberikan konsep adanya beberapa tingkatan cinta, mulai dari Hubungan hati, curahan hati, pengorbanan, rasa rindu, dan terakhir adalah penghambaan. Untuk mendapatkan cinta Allah, maka jalan satu-satunya adalah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Di sinilah letak arti pentingnya jihad sebagai konsekwensi cinta Allah. Dalam kaitan ini ia mengemukakan adanya mahabbah yang sesat, yakni dengan menghilangkan kewajiban ubudiyah, serta meminta sesuatu pada Allah yang tidak layak. Dalam kerangka pembersihan jiwa, maka cara yang ampuh adalah dengan menundukkan pandangan (fungsi pengekangan), serta menjauhi perbuatan-perbuatan keji. Mengenai Fana', Ia mengatakan bahwa fenomena fana' yang sering dialami oleh syekh-syekh tarekat, bukan sesuatu yang dibutuhkan.
Secara khusus tentang kematian Al-Khallaj di tiang gantungan, ia memberikan komentar yang berbeda dengan ulama pada umumnya. Ia antara lain mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak berarti menunjukkan bahwa al-Hallaj adalah salah. Kemungkinan hakim adalah hanya melihat yang lahir saja. Seringkali prilaku yang lahir ternyata bukan hakekat yang sebenarnya. Terhadap konflik antara kaum sufi dengan kaum fiqh, ia berpendapat bahwa bilamana pendekatan tasauf dan pendekatan hukum menghasilkan kesimpulan yang sama, maka kesimpulan tersebut patut diikuti, tetapi bilamana di antara keduanya terdapat perbedaan, maka tidak boleh salah satu pihak mengatakan bahwa dirinya lebih berhak untuk diikuti.15
Mengenai Hulul, ia berpendapat bahwa kepercayaan tentang hulul (bersemayamnya Allah pada diri manusia) adalah kafir, sebagaimana orang Nasrani meyakini Allah bersemayam pada diri Isa al-Masih. Menurutnya, orang-orang beriman itu mengetahui bahwa Allah adalah pengatur segala sesuatu. Dia jauh berbeda dengan mahluk. Dia tidak berpadu dengan mahluk, tidak juga bersatu dengan mahluk. Wujud Allah bukan wujud mahluk itu sendiri.
Selain dari apa yang telah dibicarakan di atas, patut kiranya kita untuk mengetahui pola kehidupan Ibnu Taimiyah dalam soal Tarekat ini. Salah satu yang menarik dari hasil penelitian terhadap dirinya adalah, bahwa ia merupakan penganut Tarekat Qadiriyah.16 Dalam beberapa karangannya ia seringkali menyebut Abdul Qadir Jaelani, dengan sebutan Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang alim, zuhud, shaleh, bebas dari segala macam bid'ah dan kesesatan. Bukti eksternal juga menunjang hal ini. Dalam penelitiannya George Makdisi mendapati adanya silsilah Tarekat sebagai berikut :
(1) Abd. Qadir al-Jilli (w.561)
(2) Abu Umar ibn Qudama (w.607) (3) Muwaffaq ad-Din ibn Qudama(w.620)
(4) Ibn Abi Umar ibn Qudama (w.682)
(5) Ibn Taimiya (w.728)
(6) Ibn Qayyim al-Jauziya (w.751)
(7) Ibn Rajab (w.795)17
Trhadap adanya silsilah tersebut, maka berarti Ibnu Taimiyah adalah merupakan seorang guru (Syaikh) Tarekat. Tetapi mungkin juga ada orang yang berusaha memasukkan namanya agar aliran ini menjadi populer. Bila memang silsilah tersebut benar adanya, maka kemungkinannya, praktek tarekat pada waktu itu berbeda dengan praktek kebanyakan tarekat seperti yang kita kenal sekarang ini.
E. PENGARUH PEMIKIRANNYA.
Ibnu Taimiyah tidak meninggalkan sebuah gerakan besar. Murid-muridnya seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziya, Ibnu Rajab, berusaha meneruskan pemikirannya, meskipun Ibnu al-Qayyim misalnya, lebih condong kepada faham Sufisme. Tetapi pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah sebetulnya akan terlihat pada waktu-waktu berikutnya. Pada abad ke delapan belas, di Jazirah Arab muncul suatu gerakan Wahabi, yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (1703-1792M). Gerakan yang kemudian mendapatkan patner dari penguasa Ibnu Su'ud itu mendapatkan sukses besar, dengan menitikberatkan missinya pada pemurnian akidah serta pemangkasan praktek-praktek bid'ah. Di Yaman, muncul seorang ulama besar, meskupun tidak sepopuler Abdul Wahhab, telah menegaskan kembalinya ortodoksi intelektual. Dialah Muhammad Ibnu 'Ali Asy-Syaukani (1759-1834M), yang mengarang kitab Naylul-Awthar, yang ternyata banyak dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah, antara lain dibuktikan komentar-komentarnya terhadap karya kakeknya Majduddin Ibnu Taimiyah.
Satu gerakan lain yang perlu diteliti berkaitan dengan pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah adalah gerakan Ikhwanul Muslimin, yang bila dilihat dari isinya, menyerupai gerakan Wahabi. Di India, Sayyid Ahmad Khan dapat dianggap sebagai penyempurna gerakan Wahabi, yang lebih berorientasi moderat, dan menyatakan anti terhadap semua bentuk taqlid. Di Afrika Utara, muncul gerakan Tarekat sanusiyah, suatu gerakan neo-Sufisme yang lebih menekankan pada gerakan ijtihad.
Pada abad kesembilan belas, pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha perlu mendapat perhatian. Meski dalam format yang berbeda, tetapi ide pembahauan mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran neo-Salaf Ibnu Taimiyah.
F. KESIMPULAN.
1. Bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah pada dasarnya berusaha mengembalikan arus pemikiran Islam yang sudah terdiferensiasi ke dalam beberapa jalur yang saling bertolakbelakang, mulai dari pemikiran Kalam Mu'tazilah, Asy'ariyah, Falsafah, Fiqh maupun Sufisme. Momentum pemunculan pemikirannya itu memang bertepatan dengan fenomena sosial dan politik dunia Islam abad keempatbelas yang suram.
2. Ibnu Taimiyah adalah seorang Neo-Sufisme, dengan cara mengembalikan Sufisme ke dalam pangkuan Tauhid, dengan konsep-konsep salaf seperti Ibadah, Iman, dan Akhlak.
3. Meskipun Ibnu Taimiyah tidak membawa gerakan besar, tetapi pengaruhnya cukup luas, bukan hanya di jazirah Arab, tetapi sampai ke negara-negara lain.
CATATAN
1Nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin Abu Abbas ibn Syihabuddin Abdullah Mahasin Abdullah Halim ibn Syekh Mahyuddin Abil Barakat Abdul Salam ibn Abi Muhammad Abdullah ibn Abi Qasim Al-Khadr ibn Muhammad ibn Al-Khadr ibn Ali ibn Abdillah. Nama Taimiyah diambil dari nama tempat Taima, dimana kakeknya pernah berhenti ketika mengadakan perjalanan haji ke Makkah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, hal 82.
3Pernah suatu saat ia diundang dlam perdebatan tentang suatu masalah teologi, yakni tentang kepercayaan orang-orang Kristen, dimana dalam perdebatan itu ia menulis makalah yang diberi nama Risalah al-Hamawiyah. Keunggulannya dalam setiap perdebatan menyebabkan ia mendapat gelar Hujjatul Islam. Lihat Watt, hal 165.
4. Ia mengajak orang-orang Sunni di Damaskus membantu Baybers, panglima tentara Islam dari Kesultanan Mamluk untuk bertempur melawan tentara Tartar. Sementara itu ternyata orang-orang Syi'ah Nusayiriyah ikut berkomplot dengan tentara Tartar. Hal ini masuk akal bila suatu saat Ibnu Taimiyah kemudian menulis risalah yang menyerang Syi'ah Nusyairiyah. Pertempuran tahun 1303 tersebut akhirnya dimenangkan oleh tentara Islam. Lihat Ensiklopedi Islam, hal 145-148, dan Michel, hal 107.
5. Ia termasuk ulama yang menjaga jarak dengan penguasa. Hal ini menunjukkan pendiriannya yang kuat, sebab pada umumnya ulama pada saat itu cenderung korup dan kolusi. Memang fragmentasi politik Islam telah porak poranda. Baghdad sudah hancur, ulama banyak yang melarikan diri ke Damaskus, semestara kondisi Damaskus sendiri menjadi bagian kekuasaan Dinasti Mamluk yang berpusat di Mesir. Lihat Watt, hal 187.
6. Tahun 1305 ia menyerang faham Sufi Ahmadi, mengakibatkannya dipanggil ke Cairo dan kemudian dipenjara sampai 1307. Setelah dibebaskan, lagi-lagi dalam kuliah-kulihnya di Damaskus, karena serangannya terhadap pengkultusan orang-orang suci, mengakibatkan ia harus masuk penjara pada tahun 1326 disertai dengan penyiksaan terhadap para pengikutnya, hingga ia meninggal di penjara tahun 1328 M. Lihat Watt, hal 189.
7. Logika Deduksi Aristoteles menurutnya tidak dapat mengantarkan kepada kebenaran, sebab premis hanya disusun berdasarkan rasio. Menurutnya yang sesuai adalah logika induksi, sebab diturunkan dari premis-premis nyata hasil observasi dan eksperimen. Konsepsinya ini menurut para pengamat menjadikan Ibnu Taimiyah dianggap sebagai peletak dasar logika Induktif, mendahului David Hume dan John Stuart Mill, serta penggagas Empirisme, mendahului Roger Bacon dan Francis Bacon. Lihat Fazlur Rahman, hal 157, dan Iqbal, hal 202.
8. Ia menentang konsep Kasb Al-Asy'ary. Konsep tersebut menurutnya adalah fenomena yang aneh dalam Teologi Islam. Adanya konsep Kasb bukan justru menengahi Jabbariyah dan Mu'tazilah, tetapi justru memihak Jabbariyah. Bahkan konsep tersebut dapat dimanfaatkan aliran Monisme yang berujung pada konsep ketidakberartian manusia. Lihat Fazlur Rahman, hal 187.
9Metodenya ini dapat dilihat dalam bukunya Al-Iman,yang antara lain berisi tafsiran terhadap beberapa ayat tentang persoalan akidah. Dalam tafsirannya tersebut ia menafsirkan ayat dengan ayat lain, dan kemudian diikuti dengan hadits Shahih atau Hasan. Lihat Ibnu Taimiyah, Al-Iman, Al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1399.
10. Konsep Makrifat dimasyarakatkan oleh Al-Ghazali, ada yang mengatakan ini terpengaruh oleh filsfat Gnostisisme Barat. Lihat Fazlur Rahman, hal 189.
11. Konsep Kasyf dikenalkan oleh Zunnun al-Misri, yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan merupakan tingkatan tertinggi dalam Tasauf.
12. Wahdah al-Wujud, dikonsepsikan oleh Ibnu 'Araby, merupakan penjelmaan dari Filsafat Monisme yang bertentangan dengan konsep Tauhid dalam Islam. Lihat Fazlur Rahman, hal 166.
13. Ittihad, merupakan salah satu maqam dalam tariqat, adalah kondisi naik (bersatunya mahluk dengan Allah) menurut istilah para Sufi. Lihat Ensiklopedi Islam, Juz II, hal 84.
14. Istilah Wali dalam konsep Tarekat dimaksudkan sebuah atribut seorang yang mendapat kelebihan dan kekhususan. Tanda - tanda kewalian ini sudah dapat ditentukan. Epietemologi kewalian ini pada tahap berikutnya membawa konsekwensi adanya silsilah wali, sampai kepada persoalan siapa sebenarnya yang menjadi Khatamul Auliya (penutup para wali), yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan Khatamul Anbiya. Lihat Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyyah, Al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1399 H, hal 66.
15. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu'atal-Rasail al-Kubra,Jus II, Dar Ikhya al-Turats al-Araby, Cairo, 1972, hal 96-97.
16. Thomas Michel, Op Cit, hal 119.
17George Makdisi, Ibnu Taimiya: A Sufi of The Qadiriya Order, American Journal of Arabic Studies, 1961, hal 79.
Jumat, 07 November 2008
Langganan:
Komentar (Atom)