Berikut ini hanyalah upaya untuk membuka cakrawala konsep keilmuan Al-Ghazali, yang, sudah barang tentu sudah banyak dikupas orang. Hanya saja kami berusaha untuk mensistematisasi tulisan ini seperti layaknya pendekatan filosofis, yakni aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Semoga berguna.
1. Ontologi Ilmu al-Ghazali.
Menurut al-Ghazali, pemahaman terhadap konsep tentang ilmu secara syar'i berarti pengetahuan yang diperoleh seseorang dari Allah dan sudah menyatu dalam kepribadiannya yang menunjukkan kedekatannya dengan agama. Pernyataan al-Ghazali ini didasarkan dari suatu kasus yang pernah terjadi pada saat meninggalnya Umar ibn Khattab. ketika Khalifah Umar wafat, Abdullah ibn Mas'ud berkata "hari ini, sembilan persepuluh dari ilmu (al-ilm) telah mati". Di sini ia menggunakan huruf alif dan lam (artikel) di depan kata ilmu untuk menunjuk kepada sesuatu ilmu tertentu. Kemudian ia menafsirkannya dengan ilmu untuk mengenal Allah SWT. Arti kata ilmu itu tadinya digunakan menunjukkan kepada ilm bi al-Allah, yakni pengetahuan yang membuat orang mengenal Allah, ayat-ayat (tanda-tanda keagamaan) Nya serta tindakan-tindakan Nya terhadap hubungan dengan mahluknya.
Dengan mempergunakan hadis di atas sebagai dasar pemikiran untuk meredifinisi konsep ilmu, al-Ghazali kelihatannya memulai dari suatu keraguan tentang makna ilmu. Ia tidak serta merta mengambil pengertian-pengertian yang sudah terbentuk pada zamannya dan kemudian menyimpulkannya. Ia juga tidak mengambil definisi dari al-Qur'an, tetapi dari suatu hadis yang menimbulkan problem filosofis. Dengan analisis bahasa, al-Ghazali merumuskan definisi al-'ilm berbeda dengan ilmu pada umumnya. Kalau kita simak dari analisis al-Ghazali di atas, menunjukkan bahwa persetujuannya terhadap pandangan ibn Mas'ud itu dimaksudkan pentingnya ilmu metafisika. Sebab demikian banyak sahabat yang mampu mengumpulkan informasi parsial tentang agama, namun totalitas dari semua yang ada ini, yang tidak lain adalah terdapat dalam ilmu metafisika belum dikuasai oleh sebagian besar sahabat. Sementara itu di bagian lain ia menyatakan bahwa hakekat ilmu yang sebenarnya ialah pengetahuan yang diperoleh pada tingkat Kasyf, sebagaimana dikatakannya :
"Nyatalah olehku bahwa arti ilmu atau tahu yang sesungguhnya itu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu. Keamanan dari bahaya salah atau keliru itu harus diperkuat dengan keyakinan sedemikian rupa sehingga andaikata disangkal oleh seseorang yang sakti, yang misalnya dapat mengubah batu menjadi emas atau mengubah tongkat menjadi ular, namun demikian itu tak akan menimbulkan ragu-ragu, sedikitpun juga terhadap keyakinan tersebut"
Pandangan al-Ghazali di atas menunjukkan bahwa suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu bila telah mencapai tingkat keyakinan yang mendalam. Tingkat keyakinan atau obyektifitas yang digunakan ukuran al-Ghazali di sini lebih mengacu kepada validitas internal, yakni dengan menggunakan ukuran ketetapan sikap yang sedikit banyak bersifat dogmatis.15 Bila kita lihat lebih jauh, maka pandangannya ini bersesuaian dengan obyektifitas akal yang akan dinyatakannya dalam visi epistemologis-nya.
b. Obyek ilmu.
Berkenaan dengan obyek ilmu, yang untuk selanjutnya akan nampak dalam disiplin-disiplin yang bisa dikembangkan, dipelajari atau diajarkan, maka al-Ghazali membuat suatu klasifikasi yang berbeda dengan yang sudah pernah dirumuskan orang-orang sebelumnya. Berikut ini adalah merupakan ringkasan dari pandangannya.
i'tiqad
![]()
Muamalah perbuatan
penghindaran
![]()
Fardhu 'ain
Mukasyafah
Ilmu ushul
![]()
![]()
![]()
Syari'ah furu'
muqaddimat
Fardhu mutammimat
Kifayah
terpuji
![]()
Ghairu mubah
Syari'ah tercela
Selain itu, menurutnya masih terdapat ilmu filsafat. baginya filsafat tidak berdiri sendiri, tetapi sedikitnya terdiri dari empat bidang, yakni: Pertama, adalah Handasah dan Hisab. Hukumnya mubah. orang-orang yang berjiwa lemah supaya menjauhkan darinya, sebabnya akan menjerumuskan ke dalam bid'ah Dalam kaitan ini al-Ghazali menyatakan bahwa mengenai perbintangan, hanya dapat digunakan untuk pelayaran dan perjalanan. Selain itu tidak diperbolehkan. Ilmu Nujum hanya menghasilkan teori yang bersifat "kebetulan", dan bukan kepastian. Kedua, Mantiq, yang membahas tentang substansi keabsahan suatu dalil dan perbagai persyaratannya, tentang definisi dan persyaratannya. Menurut al-Ghazali jenis ini termasuk ilmu Kalam. Namun demikian al-Ghazali tidak sependapat bilamana kepandaian seorang ulama diukur dari kelihaiannya dalam debat atau adu argumentasi. Bahkan ia menyatakan bahwa yang mereka lakukan itu bukan ilmu, tetapi hanya sekedar "omongan". Ketiga, Ilahiyat yang membahas tentang dzat Allah serta sifat-sifatnya, yang dalam hal ini ada beberapa macam aliran. Keempat, Thabi'iyat yang membahas tentang sifat-sifat jasmani (substansi) serta khasiat/ ciri-cirinya.
2. Epistemologi Ilmu Al-Ghazali.
Al-Ghazali memang tidak secara eksplisit menyebut al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber ilmu, tetapi seringkali diungkapkannya dengan istilah al-wahyu, as-sam', an-naql, maupun al-ahbar. Oleh al-Ghazali, sumber ini selain dijadikan sebagai rujukan bagi akidah ahl as-sunnah, juga merupakan sumber untuk mengolah argumentasi rasional. Dalam hal ini al-Ghazali tidak menyebutkan apakah ia merupakan sumber tertinggi atau tidak, namun rupanya al-Ghazali ingin mendudukkannya sebagai sumber paling awal. Hal ini dapat kita ketahui dari susunan materi dalam kitabnya ihya. Namun dalam beberapa analisisnya yang rinci, menunjukkan bahwa al-Qur'an dan hadis lebih banyak dijadikan sebagai legitimasi produk teorinya. Kemungkinan besar ini dilakukan karena al-ghazali belum menangkap ide sentral dari pesan al-Qur'an, atau mungkin itu merupakan bagian dari pandangannya bahwa al-Qur'an tiada artinya tanpa akal dan intuisi. Masalah ini memerlukan penelitian yang mendalam. Ukuran untuk menilai kredibilitas sumber ini, menurut al-Ghazali adalah dengan pendekatan kemutawatiran, artinya tidak mungkin sekian banyak orang berbohong.
b. Akal sebagai sumber ilmu.
Al-Ghazali memberikan tempat yang jelas bagi akal sebagai alat untuk memperoleh ilmu, sebagaimana dua pernyataannya :
Bahwa ilmu-ilmu agama hanya dapat dikuasai dengan kesempurnaan penalaran akal serta kejernihan kecerdasan. Dengan akal amanat Allah diterima manusia, dan dengannya pula dapat dicapai pengharapan diri seseorang kepadaNya.
Jelaslah bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan. serta azasnya, ibaratnya, ilmu adalah buah dari pohon, atau cahaya dari matahari atau penglihatan dari mata.
Memperhatikan pernyataan di atas secara sepintas kita seakan dapat segera menyimpulkan bahwa al-Ghazali memiliki pandangan epistemologis yang rasional, namun perlu kiranya kita memahami apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazali dengan istilah akal. Mengenai pengertian akal ini, al-Ghazali mensinyalir adanya empat pendapat definisi tentang akal. Yang pertama adalah akal sebagai gharizah (insting) yang potensial, berupa kemampuan mengetahui dan membedakan, fungsinya seperti mata. Kegu- naannya adalah untuk menyerap berbagai pengetahuan. Yang kedua adalah dalam arti hasil dari suatu perkembangan atau kematangan, seperti kemampuan untuk mengetahui yang mungkin dan mustahil. Yang ketiga adalah akal dalam pengertian pengalaman misalnya wawasan tentang sejarah. Yang keempat adalah kemampuan mengendalikan nafsu berdasarkan pengetahuan tentang manfaat dan mudharat sesuatu. Menurut al-ghazali, yang pertama dan kedua adalah bersifat naluriah, sedangkan yang ketiga dan keempat bersifat empiris. Masing-masing mempunyai proporsi makna sendiri-sendiri, yang juga pernah digunakan oleh Rasulullah. Al-Ghazali berpendapat bahwa keempatnya adalah syah dan benar belaka.
Mengenai kredebilitas akal sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka al-Ghazali lebih menekankan pada fungsi jenis akal pertama, sebab akal pertama itu dimiliki oleh semua manusia dan bersifat dharuri (aksiomatis). Sementara itu akal jenis kedua hanya merupakan cabang dari akal pertama. Mengenai jenis akal yang ketiga, al-Ghazali meragukan kredibilitasnya, alasannya adalah karena ia bersifat subyektif, dimana ia menyebutnya dengan akal muktasab. Sedangkan akal keempat, oleh al-Ghazali dianggap sebagai tingkatan tertinggi, sebab ia sudah menunjukkan aplikasi keimuan itu sendiri.
Memperhatikan pemikiran al-ghazali di atas, maka pengembangan pengetahuan rasional sedikit banyak menjadi dibatasi pada rasionalisme ortodok, yang amat ditentang oleh Empirisme Radikal. Rasionalisme Ortodok ini dikemukakan oleh Spinoza dalam apa yang disebutnya sebagai dalil-dalil dalam ilmu ukur. Descartes lalu mengembangkannya menjadi sebuah susunan metodologi deduktif. Seperti kita ketahui, tingkat kebenaran kongklusi dalam pemikiran deduktif amat terpercaya, namun terdapat kelemahannya. Kelemahan pertama adalah bahwa premis pertama harus benar, namun dari mana premis pertama itu diambil atau disusun, apakah dari al-Qur'an atau dari mana saja, al-Ghazali tidak pernah mempertanyakan persoalan ini. al-Ghazali hanya menyatakan bahwa akal potensial untuk semua orang sudah memilikinya, artinya taken for granted sebagai kebenaran apriori. Kelemahan kedua, sebagaimana pernah dinyatakan oleh ibn Taymiyah, adalah tidak mampu menghasilkan pengetahuan baru.
c. Intuisi sebagai sumber ilmu.
Intusi merupakan salah satu sumber memperoleh pengetahuan. Dalam kaitan ini al-Ghazali menyatakannya sebagai berikut :
Maka ketahuilah, bahwa asbab al-qulub, orang-orang yang telah tercerahkan hati nurani mereka, disingkapkan bagi mereka rahasia-rahasia malaikat (atau kerajaan alam atas). Adakalanya melalui datangnya ilham, dengan melintasnya pikiran atau gambaran peristiwa tertentru dalam hati mereka, dan tanpa disadari oleh mereka semdiri. Adakalanya melalui mimpi yang benar (ar-ru'ya ash-shadiqah). Dan adakalanya juga dalam keadaan terjaga (dalam kesadaran penuh, tidak dalam tidur), yaitu dengan tersingkapnya maqam-maqam tersebut melalui penyaksian kasus-kasus dalam kehidupan, seperti halnya yang tampak dalam mimpi di waktu tidur.
Al-Ghazali menyebut sumber intuisi ini dengan istilah al-Kasf (ilm al-Mukasyafah). Menurut al-Ghazali, al-Kasyf tingkatannya lebih tinggi dari akal. Ketinggian yang dimaksud adalah pertama, hanya sedikit orang yang dapat mencapainya. Kedua, kasyf dari segi kejernihan produk ilmu yang dihasilkan. Ketiga, pengetahuan ini tidak melalui proses yang gradual, tetapi cepat dan langsung dari lauh mahfudz. Siapa yang bisa menggunakan sumber kasyf ini sebagai alat memperoleh ilmu ? al-Ghazali mengatakan bahwa hanya orang-orang tertentu, yakni para nabi dan para wali.29 Apakah mereka mendapatkan kasyf itu diusahakan atau tidak ? al-Ghazali tidak memberikan jawaban secara langsung, tetapi dalam beberapa argumennya ia mengiyakan, sambil mengutip ayat al-Qur'an "fa man jahadu fi na lanahdiyannahum subulana". Di sini al-Ghazali menafsirkan mujahadah sebagai proses mendapatkan kasyf, meskipun sebenarnya ia sendiri tidak mengakui kasy ini sebagai hasil belajar. Untuk memperjelas penggambarannya ini al-Ghazali juga mendasarkan pada hadis Rasul "barang siapa mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya. Mengenai kredibilitas kasyf sebagai sumber ilmu, al-Ghazali menyatakan bahwa ia (kasyf) diperoleh melalui musyahadah di dalam batin, sedangkan musyahadah tiu termasuk pengetahuan sensual yang bisa menghasikan pengetahuan dharuri.
Dari kedua sumber ilmu tadi, yakni aqal dan kasyf, rupanya al-ghazali ingin mengatakan bahwa yang terbaik adalah kasyf. Sebab kasyf ini akan menghasilkan premis pertama yang bisa dipercaya tingkat kebenarannya. Tetapi karena yang bisa melalukannya cuma segelintir orang, maka tidak semua orang harus melakukan. Inilah barangkali yang dimaksud dengan kelompok khawash. Sementara itu kelompok awam cukup hanya dengan menggunakan akal potensialnya untuk menangkap produk keilmuan yang bersifat dharuri, atau dalam bahasa agamanya seringkali disebut dengan istilah taqlid. Bila demikian, maka ini sejalan dengan pandangan fiqh Sunni pada umumnya, bahwa ijtihad cukup dilakukan pendiri madzhab, sedangkan masyarakat hanya cukup bertaqlid.
d. Batas-batas ilmu:
Al-Ghazali memberikan batasan wewenang dan tanggung jawab disiplin-disiplin Islam, sebagaimana pernyataannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu kalam.
Ilmu Fiqh cukup dengan mengetahui yang lahir saja, untuk memelihara hukum dan peraturan yang dengannya seseorang penguasa negeri dapat mencegah kejahatan dari sebagian rakyat terhadap sebagian yang lain. Sebagai contohnya adalah ketika Nabi menegur orang yang membunuh musuh dalam peperangan padahal musuh tadi mengucapkan kalimah Syahadah. Dari sini nabi memberikan penjelasan secara emplisit bahwa ilmu fiqh tidak perlu berusaha mengungkapkan di balik peristiwa yang nampak...Mengenai ilmu kalam, maka hanya sejauh ia mampu menjaga akidah orang-orang awam secara logika dan debat dan kericuhan para ahli bid'ah.
Terhadap kedua macam ilmu itu,al-Ghazali menilai berada dibawah tingkatan ilmu Mukasyafah, dengan menyatakan bahwa ilmu mukasyafah hanya dimiliki orang-orang tertentu, seperti dinyatakannya :
Ilmu Mukasyafah adalah merupakan ilmunya orang-orang arifin, shiddiqin, dan Muqarrabin. Ia akan timbul pada orang-orang yang telah mengalami penjernihan (tazkiyah).. sampai ke Ma'rifat.....ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang tersimpan rapat (al-maknun) yang tidak ada tertulis dalam kitab-kitab...satu-satunya cara adalah dengan belajar tekun dengan mengamati keadaan-keadaan para ulama akherat. .... juga dengan cara usaha keras melawan nafsu (mujahadah), latihan kejiwaan (riyadhah), penjernihan hati dan pengosongannya dari segala ikatan duniawi.
Dari sini menunjukkan bahwa ilmu fiqh lebih tepat menggunakan metode empiris, ilmu kalam menggunakan metode logika, sedangkan ilmu mukasyafah menggunakan metode intuisi.
Al-Ghazali dalam pandangannya tentang hakekat ilmu lebih bersifat instrinsik, tetapi dalam pandangan aksiologisnya tentang nilai ilmu, ia lebih cenderung pada pemahaman yang bersifat instrumental. Berikut ini penuturannya:
Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada ini memiliki gradasi (tingkat-tingkat) keutamaan yang berbeda satu dengan lainnya terkait dengan tiga kriteria. Kriteria pertama dengan memperhatikan gharitzah. Dalam hal ini al-Ghazali memberikan contoh bahwa ilmu-ilmu akliyah nilainya lebih tinggi dari ilmu bahasa, sebab yang pertama memerlukan kecerdasan akal, sementara yang kedua hanya membutuhkan indera pendengaran dan pengucapan. Kriteria kedua adalah dari aspek luasnya manfaat, sebagai contohnya adalah ilmu pertanian lebih mulia dari ilmu pandai besi, sebab ilmu pertanian bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, sementara ilmu pandai besi hanya beberapa orang saja yang menanfaatkannya. Kriteria ketiga adalah berhubungan dengan obyek yang diolah, sebagai contohnya adalah ilmu mengolah emas nilainya lebih mulia daripada ilmu mengolah kulit (menyamak), sebab yang pertama merupakan benda yang berharga, sementara yang kedua merupakan benda najis.
c. Nilai Ilmu Kalam.
Al-Ghazali memberikan penilaian terhadap ilmu Kalam secara berbeda-beda. Dalam suatu saat ia menyatakan bahwa ilmu Kalam ini patut dijauhi sebab penuh dengan rekaan-rekaan dan terlibat dalam logika-logika yang sulit hingga ia memasukkannya dalam kriteria madzmumah, dan bahkan cenderung menilainya tidak termasuk ilmu. Namun di bagian lain al-Ghazali menyatakan bahwa mengingat keadaan seperti ini (banyak orang membuat bid'ah dan menyusunnya dalam bungkusan argumentasi yang baik), maka sebagian dari kalam itu, yang tadinya merupakan hal yang terlarang, kini-secara dharuri- berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan bahkan telah menjadi bagian fardhu kifayah.
d. Nilai ilmu agama.
Secara khusus al-Ghazali memberikan penilaian terhadap ilmu agama dengan menyatakan bahwa ilmu agama nilainya tidak tergantung dari penerapannya. Nilai ilmu ini tetap positif sepanjang masa. Ia menyatakan :
e. Prioritas ilmu yang dipelajari.
Mengenai ilmu apa yang menjadi prioritas untuk dipelajari, al-Ghazali memberikan ukuran yang jelas dan sama bagi semua orang, yakni dimulai dari fardhu a'in, baru yang fardhu kifayah. Selanjutnya adalah dipilih obyek-obyek sebagai berikut, mulailah dengan kitab Allah SWT, kemudian Sunnah Rasul, kemudian ilmu tafsir serta ulum al-qur'an lainnya seperti ilmu nasikh dan mansukh, almufsal dan al-maushul, al-muhkam dan al-mutasyabih, dan sebagainya. Demikian juga dengan as-sunnah. Kemudian pelajarilah pula terhadap furu' yakni ilmu fiqh yang disepakati dalam madzhab, dan bukannya yang diperselisihkan, kemudian tentang ilmu ushul fiqh. ...ilmu-ilmu ini hanya merupakan alat atau mukaddimah saja. Ia dicari bukan karena pentingnya secara substansial, tapi semata-mata karena untuk meraih sesuatu yang lain.
f. Ilmu dalam wacana pengajaran.
Pemikiran aksiologis al-Ghazali tidak berhenti hanya pada nilai ilmu dalam wacana pembacaan, tetapi diikuti dengan penerapannya dalam wacana pengajaran. Ia misalnya menyarankan untuk mempelajari buku-buku berdasarkan urutan kesulitannya. Ia mengatakan bahwa buku-buku yang ada terdapat tiga tingkatan, yaitu yang cukup, lebih dari cukup, dan luas. Ia menilai bahwa kitab tafsir al-wajiz berada pada tingkatan cukup, kitab al-wasith berada pada tingkatan lebih dari cukup, dan selebihnya bisa dibaca orang yang memiliki target yang lebih tinggi yakni sengaja memperluas wawasan tafsirnya. Di bidang ilmu hadis ia menilai untuk tingkat pertama cukup membaca shahih Bukhari dan Muslim, baru pada tingkat kedua perlu membaca Musnad. Kitab-kitab lainnya bisa dipelajari bagi yang ingin mendalaminya. Sementara itu dalam disiplin Fiqh, ia menyarankan pada tingkatan pemula cukup membaca kitab Mukhtasya oleh al-Muzany, baru kemudian al-Wasith, dan terakhir yang ingin memperluas wawasannya bisa membaca al-Basith. Di bidang ilmu Kalam, untuk tingkat pemula cukup mempelajari kitab Qawaid al-'aqaid, baru kemudian al-iqtishad fi al-i'tiqad, dan bagi yang ingin memperdalam boleh membaca yang lain-lain.
Dari pemikirannya ini maka dapat disimpulkan bahwa nilai ilmu menurut al-Ghazali lebih bersifat pragmatis, artinya selalu dikaitkan dengan amaliah. Mengenai nilai instrinsik dan instrumental, secara teoritis al-Ghazali memungkinkan keduanya, tetapi dalam prakteknya hanya yang instrumental.
Kata AkhirDemikian ringkasan tulisan kami, insya Allah lain waktu dapat kita sempurnakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar