Jumat, 07 November 2008
PEMIKIRAN TASAUF IBNU TAIMIYAH
Studi tentang Ibnu Taimiyah bila dikaitkan dengan Tasauf, lebih banyak merupakan suatu kritik dibandingkan dengan konsep-konsep aplikasi ajaran tasauf. Dalam banyak pemikiran yang berserakan, terdapat kecenderungan bahwa penilaian terhadap sosok ibnu Taimiyah, seperti halnya juga dengan Al-Ghazali, Al-Syafi'i, lebih banyak menitikberatkan pada pemikirannya yang menonjol dan menjadi kecenderungannya. Al-Syafi'i diidentifikasi sebagai pemikir Fiqh, Al-Ghazali berkompeten dalam Tasauf, sedangkan Ibnu Taimiyah menduduki posisi yang tidak terlalu menonjol dalam bidang tertentu.
Berikut ini adalah suatu kajian yang menitikberatkan pada pembahasan tentang sosok Ibnu Taimiyah dalam hubungannya dengan Tasauf. Untuk kepentingan ini maka penulis akan berusaha mengumpulkan bukti-bukti tentang pemikirannya yang ada hubungannya dengan tasauf, dengan terlebih dulu mempelajari sejarah hidupnya, watak dan kepribadiannya, setting historis, serta garis besar pemikiran dan ide-idenya. Secara khusus dalam kaitannya dengan pemikiran tasaufnya, maka penulis berusaha untuk menggali kronologi pemikiran tasauf, terutama pada masa seputar kehidupannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengemukakan pengaruh pemikirannya sampai dengan abad ke duapuluh ini.
Karena terbatasnya literatur yang kami miliki, usaha untuk mengungkapkan semua itu tidak dapat tersaji secara lengkap. Untuk ide-ide pokoknya memang akan kami ambil dari beberapa karangannya, tetapi untuk kelengkapan data-datanya, kami ambil dari bahan-bahan skunder yang tersebar sampai saat ini, baik dalam bentuk ulasan para ahli, hasil penelitian, maupun Ensiklopedi.
B. SEJARAH HIDUPNYA.
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran, Turki pada tahun 1263 M. dan meninggal di Damaskus tahun 1328 M1. Sejak berusia tujuh tahun ia terpaksa mengungsi ke Damaskus, disebabkan serangan tentara Mongol yang semakin gencar. Semasa kecil ia senantiasa hidup dalam kesulitan dan penderitaan, yang kelak akan mempengaruhi ketegaran pemikirannya. Sejak itu ia belajar Al-Qur'an dan menghafalnya. Belajar hadits dari musnad Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan lain-lainnya. Selain itu berbagai bidang ilmu pengetahuan keislaman seperti Fiqh Madzhab Hambali, Bahasa Arab, bahkan karya-karya Kalam Mu'tazilah, Asy'ariyah, Filsafat Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Tasauf Ibnu 'Araby dipelajarinya.2
Ilmu-ilmu tersebut ditekuninya dengan belajar pada ayahnya sendiri Syihabuddin yang juga seorang ulama Madzhab Hambali, pamannya yang bernama Fakhruddin, di samping ia sendiri membaca karya-karya tersebut secara otodidak. Kompetensinya dalam Kalam dan Filsafat ini menjadikannya layak memberikan kritik dan alternatif terhadap pemikiran yang berkembang di kedua disiplin tersebut.
Pada usia duapuluh tahun ia sudah mulai aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, terutama yang berhubungan dengan Syari'ah, Ibadah, dan tak kalah pentingnya adalah Tauhid. Ia sering diundang dalam pertemuan polemik dan debat dalam soal-soal agama di Damaskus.3 Keahliannya ini akhirnya ia mendapatkan gelar Syaikh. Sepeninggal ayahnya, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru Hadits dalam sebuah madrasah di Damaskus. Ketekunannya dalam ilmu tidak menjadikannya lupa pada dunia luar. Ia juga sering turut dalam peperangan melawan kehadiran tentara Mongol di Damaskus.4 Berbeda dengan ulama-ulama pada umumnya di zamannya, ia menolak untuk terlalu dekat dengan penguasa. Sebab menurutnya hal itu akan membawanya lupa kepada missi keilmuan dan nuraninya.5 Ketegasan dan ketegarannya dalam menentang praktek bid'ah mengakibatkan ia sering difitnah dan dipenjara beberapa kali.6
C. GARIS BESAR PEMIKIRANNYA.
Dalam banyak tulisannya Ibnu Taimiyah seringkali merupakan kritik dan tanggapan terhadap beberapa pandangan Kalam, Filsafat, Tasauf maupun bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu agak sulit untuk merumuskan orientasi pemikirannya secara terfokus. Barangkali lebih mudah untuk mencermati karakteristik metodologi pemikirannya, sehingga akan nampak jelas bagaimana ia sebenarnya. Secara umum pemikirannya adalah, ia berusaha untuk mengembalikan semua pilar pemikiran Islam kepada konsep syariah, sebagai konsep alternatif untuk memberikan jalan keluar dari melebarnya jurang pemisah antara kecenderungan pemikiran rasional (Falsafah, Kalam) dengan pemikiran Sufi yang menekankan hakekat, serta pemikiran hukum (fiqh) yang cenderung formalistis. Dalam karyanya Al-Radd ala al-Manthiqiyin, ia mengkritik Filsafat spekulatif Metafisika bukan terutama pada materinya, tetapi justru pada aspek epistemologinya yang nampak dalam sistem logika yang digunakan. Sebagai gantinya ia menawarkan konsep kunci "al-Haqiqah fi al-a'yan la fi al-adzhan"7. Menurutnya Filsafat Islam telah terlalu banyak dimasuki unsur Hellenisme yang justru menyebabkan kemunduran ummat Islam. Terhadap Kalam, ia berpendapat bahwa Kalam tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya Kalam, sebagaimana filsafat, telah terlalu banyak menggunakan logika Aristoteles.8 Dalam kondisi seperti itu, ia menyerukan agar ummat Islam bangkit, dengan meninggalkan segala macam bid'ah, serta menganjurkan ijtihad, sebab dengan cara inilah ummat Islam dapat menegakkan eksitensinya di tengah penindasan orang luar. Dalam masalah Tasauf, ia memiliki konsepsi tersendiri yang berbeda dengan ulama pada umumnya. Inilah yang secara khusus akan penulis kemukakan dalam tulisan ini. Seirama dengan pemikirannya itu, ia secara umum seringkali dikatakan berfaham salaf. Hal ini nampak dalam tulisan-tulisannya yang tidak terlalu banyak memberikan uraian dalam memahami Al-Qur'an. Menurutnya tafsir yang baik adalah menafsirkan ayat dengan ayat. Sebagai ulama yang bermadzhab Hambali, ia lebih banyak menggunakan Hadits untuk mendukung argumentasi-argumentasinya.9 Konsekwensinya, ia menentang semua bentuk bid'ah baik dalam pemikiran (takwil) maupun ibadah.
D. PEMIKIRAN TASAUF.
Sedikitnya terdapat dua hal yang menjadi inti pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tasauf. Kedua hal tersebut adalah tentang Keabsahan tasauf sebagai jalan menempuh kebenaran (Sufisme), serta praktek-praktek tasauf dan Tarekat yang berkembang waktu itu.
Tentang keabsahan Tasauf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasauf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Bahkan makrifah, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan
akhir kegiatan tasauf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran.10 Menurutnya, tujuan akhir kehiduan manusia adalah ibadah. Baginya tasauf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Kasyf sebagai pengalaman religius semestinya dibawa pada tingkat intelektual yang dapat dipertanggungjawabkan.11 Meskipun ia mengakui keabsahan metode eksperimental tasauf, tapi ia menyarankan agar Tasauf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji kebenaran konsepnya. Satu hal yang menurutnya amat membahayakan adalah konsep Wahdah al-wujud, yang cenderung mengaburkan perbedaan antara khaliq dengan mahluk.12 Ekses dari konsep tersebut ternyata banyak disalahgunakan, misalnya, bila seseorang (Wali, Syaikh) telah mengganggap dirinya sampai pada tingkat ittihad, maka ia berada di luar batas-batas ketentuan Syariah.13 Terhadap ini, ia mengemukakan beberapa konsep kunci, antara lain tentang wali.14
Baginya kewalian bukan sesuatu yang tetap, tetapi relatif. Seseorang yang dekat dengan Allah, karena ketaatan dan kesuciannya, akan mengantarkannya pada kedudukan wali. Kebalikannya adalah bila seseorang berbuat maksiyat, sesuatu yang dilarang dalam agama, maka orang tersebut dapat kehilangan kedudukannya sebagai wali (kekasih Allah).
Yang kedua, adalah praktek Tasauf (Tarekat). Ia antara lain mengakui bahwa wali mempunyai karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma'shum dari kesalahan, dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak lebih afdhal dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur Nabi atau oang-orang Shaleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah, dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada allah, langsung berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapapun. Demikian juga ziarah kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah. Menurutnya taqarrub kepada Allah dapat dilakukan dengan mengamalkan amalan-amalan wajib maupun sunnah.
Mengenai cinta pada Allah, ia memberikan konsep adanya beberapa tingkatan cinta, mulai dari Hubungan hati, curahan hati, pengorbanan, rasa rindu, dan terakhir adalah penghambaan. Untuk mendapatkan cinta Allah, maka jalan satu-satunya adalah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Di sinilah letak arti pentingnya jihad sebagai konsekwensi cinta Allah. Dalam kaitan ini ia mengemukakan adanya mahabbah yang sesat, yakni dengan menghilangkan kewajiban ubudiyah, serta meminta sesuatu pada Allah yang tidak layak. Dalam kerangka pembersihan jiwa, maka cara yang ampuh adalah dengan menundukkan pandangan (fungsi pengekangan), serta menjauhi perbuatan-perbuatan keji. Mengenai Fana', Ia mengatakan bahwa fenomena fana' yang sering dialami oleh syekh-syekh tarekat, bukan sesuatu yang dibutuhkan.
Secara khusus tentang kematian Al-Khallaj di tiang gantungan, ia memberikan komentar yang berbeda dengan ulama pada umumnya. Ia antara lain mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak berarti menunjukkan bahwa al-Hallaj adalah salah. Kemungkinan hakim adalah hanya melihat yang lahir saja. Seringkali prilaku yang lahir ternyata bukan hakekat yang sebenarnya. Terhadap konflik antara kaum sufi dengan kaum fiqh, ia berpendapat bahwa bilamana pendekatan tasauf dan pendekatan hukum menghasilkan kesimpulan yang sama, maka kesimpulan tersebut patut diikuti, tetapi bilamana di antara keduanya terdapat perbedaan, maka tidak boleh salah satu pihak mengatakan bahwa dirinya lebih berhak untuk diikuti.15
Mengenai Hulul, ia berpendapat bahwa kepercayaan tentang hulul (bersemayamnya Allah pada diri manusia) adalah kafir, sebagaimana orang Nasrani meyakini Allah bersemayam pada diri Isa al-Masih. Menurutnya, orang-orang beriman itu mengetahui bahwa Allah adalah pengatur segala sesuatu. Dia jauh berbeda dengan mahluk. Dia tidak berpadu dengan mahluk, tidak juga bersatu dengan mahluk. Wujud Allah bukan wujud mahluk itu sendiri.
Selain dari apa yang telah dibicarakan di atas, patut kiranya kita untuk mengetahui pola kehidupan Ibnu Taimiyah dalam soal Tarekat ini. Salah satu yang menarik dari hasil penelitian terhadap dirinya adalah, bahwa ia merupakan penganut Tarekat Qadiriyah.16 Dalam beberapa karangannya ia seringkali menyebut Abdul Qadir Jaelani, dengan sebutan Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang alim, zuhud, shaleh, bebas dari segala macam bid'ah dan kesesatan. Bukti eksternal juga menunjang hal ini. Dalam penelitiannya George Makdisi mendapati adanya silsilah Tarekat sebagai berikut :
(1) Abd. Qadir al-Jilli (w.561)
(2) Abu Umar ibn Qudama (w.607) (3) Muwaffaq ad-Din ibn Qudama(w.620)
(4) Ibn Abi Umar ibn Qudama (w.682)
(5) Ibn Taimiya (w.728)
(6) Ibn Qayyim al-Jauziya (w.751)
(7) Ibn Rajab (w.795)17
Trhadap adanya silsilah tersebut, maka berarti Ibnu Taimiyah adalah merupakan seorang guru (Syaikh) Tarekat. Tetapi mungkin juga ada orang yang berusaha memasukkan namanya agar aliran ini menjadi populer. Bila memang silsilah tersebut benar adanya, maka kemungkinannya, praktek tarekat pada waktu itu berbeda dengan praktek kebanyakan tarekat seperti yang kita kenal sekarang ini.
E. PENGARUH PEMIKIRANNYA.
Ibnu Taimiyah tidak meninggalkan sebuah gerakan besar. Murid-muridnya seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziya, Ibnu Rajab, berusaha meneruskan pemikirannya, meskipun Ibnu al-Qayyim misalnya, lebih condong kepada faham Sufisme. Tetapi pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah sebetulnya akan terlihat pada waktu-waktu berikutnya. Pada abad ke delapan belas, di Jazirah Arab muncul suatu gerakan Wahabi, yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (1703-1792M). Gerakan yang kemudian mendapatkan patner dari penguasa Ibnu Su'ud itu mendapatkan sukses besar, dengan menitikberatkan missinya pada pemurnian akidah serta pemangkasan praktek-praktek bid'ah. Di Yaman, muncul seorang ulama besar, meskupun tidak sepopuler Abdul Wahhab, telah menegaskan kembalinya ortodoksi intelektual. Dialah Muhammad Ibnu 'Ali Asy-Syaukani (1759-1834M), yang mengarang kitab Naylul-Awthar, yang ternyata banyak dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah, antara lain dibuktikan komentar-komentarnya terhadap karya kakeknya Majduddin Ibnu Taimiyah.
Satu gerakan lain yang perlu diteliti berkaitan dengan pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah adalah gerakan Ikhwanul Muslimin, yang bila dilihat dari isinya, menyerupai gerakan Wahabi. Di India, Sayyid Ahmad Khan dapat dianggap sebagai penyempurna gerakan Wahabi, yang lebih berorientasi moderat, dan menyatakan anti terhadap semua bentuk taqlid. Di Afrika Utara, muncul gerakan Tarekat sanusiyah, suatu gerakan neo-Sufisme yang lebih menekankan pada gerakan ijtihad.
Pada abad kesembilan belas, pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha perlu mendapat perhatian. Meski dalam format yang berbeda, tetapi ide pembahauan mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran neo-Salaf Ibnu Taimiyah.
F. KESIMPULAN.
1. Bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah pada dasarnya berusaha mengembalikan arus pemikiran Islam yang sudah terdiferensiasi ke dalam beberapa jalur yang saling bertolakbelakang, mulai dari pemikiran Kalam Mu'tazilah, Asy'ariyah, Falsafah, Fiqh maupun Sufisme. Momentum pemunculan pemikirannya itu memang bertepatan dengan fenomena sosial dan politik dunia Islam abad keempatbelas yang suram.
2. Ibnu Taimiyah adalah seorang Neo-Sufisme, dengan cara mengembalikan Sufisme ke dalam pangkuan Tauhid, dengan konsep-konsep salaf seperti Ibadah, Iman, dan Akhlak.
3. Meskipun Ibnu Taimiyah tidak membawa gerakan besar, tetapi pengaruhnya cukup luas, bukan hanya di jazirah Arab, tetapi sampai ke negara-negara lain.
CATATAN
1Nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin Abu Abbas ibn Syihabuddin Abdullah Mahasin Abdullah Halim ibn Syekh Mahyuddin Abil Barakat Abdul Salam ibn Abi Muhammad Abdullah ibn Abi Qasim Al-Khadr ibn Muhammad ibn Al-Khadr ibn Ali ibn Abdillah. Nama Taimiyah diambil dari nama tempat Taima, dimana kakeknya pernah berhenti ketika mengadakan perjalanan haji ke Makkah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, hal 82.
3Pernah suatu saat ia diundang dlam perdebatan tentang suatu masalah teologi, yakni tentang kepercayaan orang-orang Kristen, dimana dalam perdebatan itu ia menulis makalah yang diberi nama Risalah al-Hamawiyah. Keunggulannya dalam setiap perdebatan menyebabkan ia mendapat gelar Hujjatul Islam. Lihat Watt, hal 165.
4. Ia mengajak orang-orang Sunni di Damaskus membantu Baybers, panglima tentara Islam dari Kesultanan Mamluk untuk bertempur melawan tentara Tartar. Sementara itu ternyata orang-orang Syi'ah Nusayiriyah ikut berkomplot dengan tentara Tartar. Hal ini masuk akal bila suatu saat Ibnu Taimiyah kemudian menulis risalah yang menyerang Syi'ah Nusyairiyah. Pertempuran tahun 1303 tersebut akhirnya dimenangkan oleh tentara Islam. Lihat Ensiklopedi Islam, hal 145-148, dan Michel, hal 107.
5. Ia termasuk ulama yang menjaga jarak dengan penguasa. Hal ini menunjukkan pendiriannya yang kuat, sebab pada umumnya ulama pada saat itu cenderung korup dan kolusi. Memang fragmentasi politik Islam telah porak poranda. Baghdad sudah hancur, ulama banyak yang melarikan diri ke Damaskus, semestara kondisi Damaskus sendiri menjadi bagian kekuasaan Dinasti Mamluk yang berpusat di Mesir. Lihat Watt, hal 187.
6. Tahun 1305 ia menyerang faham Sufi Ahmadi, mengakibatkannya dipanggil ke Cairo dan kemudian dipenjara sampai 1307. Setelah dibebaskan, lagi-lagi dalam kuliah-kulihnya di Damaskus, karena serangannya terhadap pengkultusan orang-orang suci, mengakibatkan ia harus masuk penjara pada tahun 1326 disertai dengan penyiksaan terhadap para pengikutnya, hingga ia meninggal di penjara tahun 1328 M. Lihat Watt, hal 189.
7. Logika Deduksi Aristoteles menurutnya tidak dapat mengantarkan kepada kebenaran, sebab premis hanya disusun berdasarkan rasio. Menurutnya yang sesuai adalah logika induksi, sebab diturunkan dari premis-premis nyata hasil observasi dan eksperimen. Konsepsinya ini menurut para pengamat menjadikan Ibnu Taimiyah dianggap sebagai peletak dasar logika Induktif, mendahului David Hume dan John Stuart Mill, serta penggagas Empirisme, mendahului Roger Bacon dan Francis Bacon. Lihat Fazlur Rahman, hal 157, dan Iqbal, hal 202.
8. Ia menentang konsep Kasb Al-Asy'ary. Konsep tersebut menurutnya adalah fenomena yang aneh dalam Teologi Islam. Adanya konsep Kasb bukan justru menengahi Jabbariyah dan Mu'tazilah, tetapi justru memihak Jabbariyah. Bahkan konsep tersebut dapat dimanfaatkan aliran Monisme yang berujung pada konsep ketidakberartian manusia. Lihat Fazlur Rahman, hal 187.
9Metodenya ini dapat dilihat dalam bukunya Al-Iman,yang antara lain berisi tafsiran terhadap beberapa ayat tentang persoalan akidah. Dalam tafsirannya tersebut ia menafsirkan ayat dengan ayat lain, dan kemudian diikuti dengan hadits Shahih atau Hasan. Lihat Ibnu Taimiyah, Al-Iman, Al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1399.
10. Konsep Makrifat dimasyarakatkan oleh Al-Ghazali, ada yang mengatakan ini terpengaruh oleh filsfat Gnostisisme Barat. Lihat Fazlur Rahman, hal 189.
11. Konsep Kasyf dikenalkan oleh Zunnun al-Misri, yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan merupakan tingkatan tertinggi dalam Tasauf.
12. Wahdah al-Wujud, dikonsepsikan oleh Ibnu 'Araby, merupakan penjelmaan dari Filsafat Monisme yang bertentangan dengan konsep Tauhid dalam Islam. Lihat Fazlur Rahman, hal 166.
13. Ittihad, merupakan salah satu maqam dalam tariqat, adalah kondisi naik (bersatunya mahluk dengan Allah) menurut istilah para Sufi. Lihat Ensiklopedi Islam, Juz II, hal 84.
14. Istilah Wali dalam konsep Tarekat dimaksudkan sebuah atribut seorang yang mendapat kelebihan dan kekhususan. Tanda - tanda kewalian ini sudah dapat ditentukan. Epietemologi kewalian ini pada tahap berikutnya membawa konsekwensi adanya silsilah wali, sampai kepada persoalan siapa sebenarnya yang menjadi Khatamul Auliya (penutup para wali), yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan Khatamul Anbiya. Lihat Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyyah, Al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1399 H, hal 66.
15. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu'atal-Rasail al-Kubra,Jus II, Dar Ikhya al-Turats al-Araby, Cairo, 1972, hal 96-97.
16. Thomas Michel, Op Cit, hal 119.
17George Makdisi, Ibnu Taimiya: A Sufi of The Qadiriya Order, American Journal of Arabic Studies, 1961, hal 79.
Jumat, 28 Maret 2008
ILMU MENURUT AL-GHAZALI
Berikut ini hanyalah upaya untuk membuka cakrawala konsep keilmuan Al-Ghazali, yang, sudah barang tentu sudah banyak dikupas orang. Hanya saja kami berusaha untuk mensistematisasi tulisan ini seperti layaknya pendekatan filosofis, yakni aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Semoga berguna.
1. Ontologi Ilmu al-Ghazali.
Menurut al-Ghazali, pemahaman terhadap konsep tentang ilmu secara syar'i berarti pengetahuan yang diperoleh seseorang dari Allah dan sudah menyatu dalam kepribadiannya yang menunjukkan kedekatannya dengan agama. Pernyataan al-Ghazali ini didasarkan dari suatu kasus yang pernah terjadi pada saat meninggalnya Umar ibn Khattab. ketika Khalifah Umar wafat, Abdullah ibn Mas'ud berkata "hari ini, sembilan persepuluh dari ilmu (al-ilm) telah mati". Di sini ia menggunakan huruf alif dan lam (artikel) di depan kata ilmu untuk menunjuk kepada sesuatu ilmu tertentu. Kemudian ia menafsirkannya dengan ilmu untuk mengenal Allah SWT. Arti kata ilmu itu tadinya digunakan menunjukkan kepada ilm bi al-Allah, yakni pengetahuan yang membuat orang mengenal Allah, ayat-ayat (tanda-tanda keagamaan) Nya serta tindakan-tindakan Nya terhadap hubungan dengan mahluknya.
Dengan mempergunakan hadis di atas sebagai dasar pemikiran untuk meredifinisi konsep ilmu, al-Ghazali kelihatannya memulai dari suatu keraguan tentang makna ilmu. Ia tidak serta merta mengambil pengertian-pengertian yang sudah terbentuk pada zamannya dan kemudian menyimpulkannya. Ia juga tidak mengambil definisi dari al-Qur'an, tetapi dari suatu hadis yang menimbulkan problem filosofis. Dengan analisis bahasa, al-Ghazali merumuskan definisi al-'ilm berbeda dengan ilmu pada umumnya. Kalau kita simak dari analisis al-Ghazali di atas, menunjukkan bahwa persetujuannya terhadap pandangan ibn Mas'ud itu dimaksudkan pentingnya ilmu metafisika. Sebab demikian banyak sahabat yang mampu mengumpulkan informasi parsial tentang agama, namun totalitas dari semua yang ada ini, yang tidak lain adalah terdapat dalam ilmu metafisika belum dikuasai oleh sebagian besar sahabat. Sementara itu di bagian lain ia menyatakan bahwa hakekat ilmu yang sebenarnya ialah pengetahuan yang diperoleh pada tingkat Kasyf, sebagaimana dikatakannya :
"Nyatalah olehku bahwa arti ilmu atau tahu yang sesungguhnya itu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu. Keamanan dari bahaya salah atau keliru itu harus diperkuat dengan keyakinan sedemikian rupa sehingga andaikata disangkal oleh seseorang yang sakti, yang misalnya dapat mengubah batu menjadi emas atau mengubah tongkat menjadi ular, namun demikian itu tak akan menimbulkan ragu-ragu, sedikitpun juga terhadap keyakinan tersebut"
Pandangan al-Ghazali di atas menunjukkan bahwa suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu bila telah mencapai tingkat keyakinan yang mendalam. Tingkat keyakinan atau obyektifitas yang digunakan ukuran al-Ghazali di sini lebih mengacu kepada validitas internal, yakni dengan menggunakan ukuran ketetapan sikap yang sedikit banyak bersifat dogmatis.15 Bila kita lihat lebih jauh, maka pandangannya ini bersesuaian dengan obyektifitas akal yang akan dinyatakannya dalam visi epistemologis-nya.
b. Obyek ilmu.
Berkenaan dengan obyek ilmu, yang untuk selanjutnya akan nampak dalam disiplin-disiplin yang bisa dikembangkan, dipelajari atau diajarkan, maka al-Ghazali membuat suatu klasifikasi yang berbeda dengan yang sudah pernah dirumuskan orang-orang sebelumnya. Berikut ini adalah merupakan ringkasan dari pandangannya.
i'tiqad
![]()
Muamalah perbuatan
penghindaran
![]()
Fardhu 'ain
Mukasyafah
Ilmu ushul
![]()
![]()
![]()
Syari'ah furu'
muqaddimat
Fardhu mutammimat
Kifayah
terpuji
![]()
Ghairu mubah
Syari'ah tercela
Selain itu, menurutnya masih terdapat ilmu filsafat. baginya filsafat tidak berdiri sendiri, tetapi sedikitnya terdiri dari empat bidang, yakni: Pertama, adalah Handasah dan Hisab. Hukumnya mubah. orang-orang yang berjiwa lemah supaya menjauhkan darinya, sebabnya akan menjerumuskan ke dalam bid'ah Dalam kaitan ini al-Ghazali menyatakan bahwa mengenai perbintangan, hanya dapat digunakan untuk pelayaran dan perjalanan. Selain itu tidak diperbolehkan. Ilmu Nujum hanya menghasilkan teori yang bersifat "kebetulan", dan bukan kepastian. Kedua, Mantiq, yang membahas tentang substansi keabsahan suatu dalil dan perbagai persyaratannya, tentang definisi dan persyaratannya. Menurut al-Ghazali jenis ini termasuk ilmu Kalam. Namun demikian al-Ghazali tidak sependapat bilamana kepandaian seorang ulama diukur dari kelihaiannya dalam debat atau adu argumentasi. Bahkan ia menyatakan bahwa yang mereka lakukan itu bukan ilmu, tetapi hanya sekedar "omongan". Ketiga, Ilahiyat yang membahas tentang dzat Allah serta sifat-sifatnya, yang dalam hal ini ada beberapa macam aliran. Keempat, Thabi'iyat yang membahas tentang sifat-sifat jasmani (substansi) serta khasiat/ ciri-cirinya.
2. Epistemologi Ilmu Al-Ghazali.
Al-Ghazali memang tidak secara eksplisit menyebut al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber ilmu, tetapi seringkali diungkapkannya dengan istilah al-wahyu, as-sam', an-naql, maupun al-ahbar. Oleh al-Ghazali, sumber ini selain dijadikan sebagai rujukan bagi akidah ahl as-sunnah, juga merupakan sumber untuk mengolah argumentasi rasional. Dalam hal ini al-Ghazali tidak menyebutkan apakah ia merupakan sumber tertinggi atau tidak, namun rupanya al-Ghazali ingin mendudukkannya sebagai sumber paling awal. Hal ini dapat kita ketahui dari susunan materi dalam kitabnya ihya. Namun dalam beberapa analisisnya yang rinci, menunjukkan bahwa al-Qur'an dan hadis lebih banyak dijadikan sebagai legitimasi produk teorinya. Kemungkinan besar ini dilakukan karena al-ghazali belum menangkap ide sentral dari pesan al-Qur'an, atau mungkin itu merupakan bagian dari pandangannya bahwa al-Qur'an tiada artinya tanpa akal dan intuisi. Masalah ini memerlukan penelitian yang mendalam. Ukuran untuk menilai kredibilitas sumber ini, menurut al-Ghazali adalah dengan pendekatan kemutawatiran, artinya tidak mungkin sekian banyak orang berbohong.
b. Akal sebagai sumber ilmu.
Al-Ghazali memberikan tempat yang jelas bagi akal sebagai alat untuk memperoleh ilmu, sebagaimana dua pernyataannya :
Bahwa ilmu-ilmu agama hanya dapat dikuasai dengan kesempurnaan penalaran akal serta kejernihan kecerdasan. Dengan akal amanat Allah diterima manusia, dan dengannya pula dapat dicapai pengharapan diri seseorang kepadaNya.
Jelaslah bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan. serta azasnya, ibaratnya, ilmu adalah buah dari pohon, atau cahaya dari matahari atau penglihatan dari mata.
Memperhatikan pernyataan di atas secara sepintas kita seakan dapat segera menyimpulkan bahwa al-Ghazali memiliki pandangan epistemologis yang rasional, namun perlu kiranya kita memahami apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazali dengan istilah akal. Mengenai pengertian akal ini, al-Ghazali mensinyalir adanya empat pendapat definisi tentang akal. Yang pertama adalah akal sebagai gharizah (insting) yang potensial, berupa kemampuan mengetahui dan membedakan, fungsinya seperti mata. Kegu- naannya adalah untuk menyerap berbagai pengetahuan. Yang kedua adalah dalam arti hasil dari suatu perkembangan atau kematangan, seperti kemampuan untuk mengetahui yang mungkin dan mustahil. Yang ketiga adalah akal dalam pengertian pengalaman misalnya wawasan tentang sejarah. Yang keempat adalah kemampuan mengendalikan nafsu berdasarkan pengetahuan tentang manfaat dan mudharat sesuatu. Menurut al-ghazali, yang pertama dan kedua adalah bersifat naluriah, sedangkan yang ketiga dan keempat bersifat empiris. Masing-masing mempunyai proporsi makna sendiri-sendiri, yang juga pernah digunakan oleh Rasulullah. Al-Ghazali berpendapat bahwa keempatnya adalah syah dan benar belaka.
Mengenai kredebilitas akal sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka al-Ghazali lebih menekankan pada fungsi jenis akal pertama, sebab akal pertama itu dimiliki oleh semua manusia dan bersifat dharuri (aksiomatis). Sementara itu akal jenis kedua hanya merupakan cabang dari akal pertama. Mengenai jenis akal yang ketiga, al-Ghazali meragukan kredibilitasnya, alasannya adalah karena ia bersifat subyektif, dimana ia menyebutnya dengan akal muktasab. Sedangkan akal keempat, oleh al-Ghazali dianggap sebagai tingkatan tertinggi, sebab ia sudah menunjukkan aplikasi keimuan itu sendiri.
Memperhatikan pemikiran al-ghazali di atas, maka pengembangan pengetahuan rasional sedikit banyak menjadi dibatasi pada rasionalisme ortodok, yang amat ditentang oleh Empirisme Radikal. Rasionalisme Ortodok ini dikemukakan oleh Spinoza dalam apa yang disebutnya sebagai dalil-dalil dalam ilmu ukur. Descartes lalu mengembangkannya menjadi sebuah susunan metodologi deduktif. Seperti kita ketahui, tingkat kebenaran kongklusi dalam pemikiran deduktif amat terpercaya, namun terdapat kelemahannya. Kelemahan pertama adalah bahwa premis pertama harus benar, namun dari mana premis pertama itu diambil atau disusun, apakah dari al-Qur'an atau dari mana saja, al-Ghazali tidak pernah mempertanyakan persoalan ini. al-Ghazali hanya menyatakan bahwa akal potensial untuk semua orang sudah memilikinya, artinya taken for granted sebagai kebenaran apriori. Kelemahan kedua, sebagaimana pernah dinyatakan oleh ibn Taymiyah, adalah tidak mampu menghasilkan pengetahuan baru.
c. Intuisi sebagai sumber ilmu.
Intusi merupakan salah satu sumber memperoleh pengetahuan. Dalam kaitan ini al-Ghazali menyatakannya sebagai berikut :
Maka ketahuilah, bahwa asbab al-qulub, orang-orang yang telah tercerahkan hati nurani mereka, disingkapkan bagi mereka rahasia-rahasia malaikat (atau kerajaan alam atas). Adakalanya melalui datangnya ilham, dengan melintasnya pikiran atau gambaran peristiwa tertentru dalam hati mereka, dan tanpa disadari oleh mereka semdiri. Adakalanya melalui mimpi yang benar (ar-ru'ya ash-shadiqah). Dan adakalanya juga dalam keadaan terjaga (dalam kesadaran penuh, tidak dalam tidur), yaitu dengan tersingkapnya maqam-maqam tersebut melalui penyaksian kasus-kasus dalam kehidupan, seperti halnya yang tampak dalam mimpi di waktu tidur.
Al-Ghazali menyebut sumber intuisi ini dengan istilah al-Kasf (ilm al-Mukasyafah). Menurut al-Ghazali, al-Kasyf tingkatannya lebih tinggi dari akal. Ketinggian yang dimaksud adalah pertama, hanya sedikit orang yang dapat mencapainya. Kedua, kasyf dari segi kejernihan produk ilmu yang dihasilkan. Ketiga, pengetahuan ini tidak melalui proses yang gradual, tetapi cepat dan langsung dari lauh mahfudz. Siapa yang bisa menggunakan sumber kasyf ini sebagai alat memperoleh ilmu ? al-Ghazali mengatakan bahwa hanya orang-orang tertentu, yakni para nabi dan para wali.29 Apakah mereka mendapatkan kasyf itu diusahakan atau tidak ? al-Ghazali tidak memberikan jawaban secara langsung, tetapi dalam beberapa argumennya ia mengiyakan, sambil mengutip ayat al-Qur'an "fa man jahadu fi na lanahdiyannahum subulana". Di sini al-Ghazali menafsirkan mujahadah sebagai proses mendapatkan kasyf, meskipun sebenarnya ia sendiri tidak mengakui kasy ini sebagai hasil belajar. Untuk memperjelas penggambarannya ini al-Ghazali juga mendasarkan pada hadis Rasul "barang siapa mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya. Mengenai kredibilitas kasyf sebagai sumber ilmu, al-Ghazali menyatakan bahwa ia (kasyf) diperoleh melalui musyahadah di dalam batin, sedangkan musyahadah tiu termasuk pengetahuan sensual yang bisa menghasikan pengetahuan dharuri.
Dari kedua sumber ilmu tadi, yakni aqal dan kasyf, rupanya al-ghazali ingin mengatakan bahwa yang terbaik adalah kasyf. Sebab kasyf ini akan menghasilkan premis pertama yang bisa dipercaya tingkat kebenarannya. Tetapi karena yang bisa melalukannya cuma segelintir orang, maka tidak semua orang harus melakukan. Inilah barangkali yang dimaksud dengan kelompok khawash. Sementara itu kelompok awam cukup hanya dengan menggunakan akal potensialnya untuk menangkap produk keilmuan yang bersifat dharuri, atau dalam bahasa agamanya seringkali disebut dengan istilah taqlid. Bila demikian, maka ini sejalan dengan pandangan fiqh Sunni pada umumnya, bahwa ijtihad cukup dilakukan pendiri madzhab, sedangkan masyarakat hanya cukup bertaqlid.
d. Batas-batas ilmu:
Al-Ghazali memberikan batasan wewenang dan tanggung jawab disiplin-disiplin Islam, sebagaimana pernyataannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu kalam.
Ilmu Fiqh cukup dengan mengetahui yang lahir saja, untuk memelihara hukum dan peraturan yang dengannya seseorang penguasa negeri dapat mencegah kejahatan dari sebagian rakyat terhadap sebagian yang lain. Sebagai contohnya adalah ketika Nabi menegur orang yang membunuh musuh dalam peperangan padahal musuh tadi mengucapkan kalimah Syahadah. Dari sini nabi memberikan penjelasan secara emplisit bahwa ilmu fiqh tidak perlu berusaha mengungkapkan di balik peristiwa yang nampak...Mengenai ilmu kalam, maka hanya sejauh ia mampu menjaga akidah orang-orang awam secara logika dan debat dan kericuhan para ahli bid'ah.
Terhadap kedua macam ilmu itu,al-Ghazali menilai berada dibawah tingkatan ilmu Mukasyafah, dengan menyatakan bahwa ilmu mukasyafah hanya dimiliki orang-orang tertentu, seperti dinyatakannya :
Ilmu Mukasyafah adalah merupakan ilmunya orang-orang arifin, shiddiqin, dan Muqarrabin. Ia akan timbul pada orang-orang yang telah mengalami penjernihan (tazkiyah).. sampai ke Ma'rifat.....ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang tersimpan rapat (al-maknun) yang tidak ada tertulis dalam kitab-kitab...satu-satunya cara adalah dengan belajar tekun dengan mengamati keadaan-keadaan para ulama akherat. .... juga dengan cara usaha keras melawan nafsu (mujahadah), latihan kejiwaan (riyadhah), penjernihan hati dan pengosongannya dari segala ikatan duniawi.
Dari sini menunjukkan bahwa ilmu fiqh lebih tepat menggunakan metode empiris, ilmu kalam menggunakan metode logika, sedangkan ilmu mukasyafah menggunakan metode intuisi.
Al-Ghazali dalam pandangannya tentang hakekat ilmu lebih bersifat instrinsik, tetapi dalam pandangan aksiologisnya tentang nilai ilmu, ia lebih cenderung pada pemahaman yang bersifat instrumental. Berikut ini penuturannya:
Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada ini memiliki gradasi (tingkat-tingkat) keutamaan yang berbeda satu dengan lainnya terkait dengan tiga kriteria. Kriteria pertama dengan memperhatikan gharitzah. Dalam hal ini al-Ghazali memberikan contoh bahwa ilmu-ilmu akliyah nilainya lebih tinggi dari ilmu bahasa, sebab yang pertama memerlukan kecerdasan akal, sementara yang kedua hanya membutuhkan indera pendengaran dan pengucapan. Kriteria kedua adalah dari aspek luasnya manfaat, sebagai contohnya adalah ilmu pertanian lebih mulia dari ilmu pandai besi, sebab ilmu pertanian bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, sementara ilmu pandai besi hanya beberapa orang saja yang menanfaatkannya. Kriteria ketiga adalah berhubungan dengan obyek yang diolah, sebagai contohnya adalah ilmu mengolah emas nilainya lebih mulia daripada ilmu mengolah kulit (menyamak), sebab yang pertama merupakan benda yang berharga, sementara yang kedua merupakan benda najis.
c. Nilai Ilmu Kalam.
Al-Ghazali memberikan penilaian terhadap ilmu Kalam secara berbeda-beda. Dalam suatu saat ia menyatakan bahwa ilmu Kalam ini patut dijauhi sebab penuh dengan rekaan-rekaan dan terlibat dalam logika-logika yang sulit hingga ia memasukkannya dalam kriteria madzmumah, dan bahkan cenderung menilainya tidak termasuk ilmu. Namun di bagian lain al-Ghazali menyatakan bahwa mengingat keadaan seperti ini (banyak orang membuat bid'ah dan menyusunnya dalam bungkusan argumentasi yang baik), maka sebagian dari kalam itu, yang tadinya merupakan hal yang terlarang, kini-secara dharuri- berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan bahkan telah menjadi bagian fardhu kifayah.
d. Nilai ilmu agama.
Secara khusus al-Ghazali memberikan penilaian terhadap ilmu agama dengan menyatakan bahwa ilmu agama nilainya tidak tergantung dari penerapannya. Nilai ilmu ini tetap positif sepanjang masa. Ia menyatakan :
e. Prioritas ilmu yang dipelajari.
Mengenai ilmu apa yang menjadi prioritas untuk dipelajari, al-Ghazali memberikan ukuran yang jelas dan sama bagi semua orang, yakni dimulai dari fardhu a'in, baru yang fardhu kifayah. Selanjutnya adalah dipilih obyek-obyek sebagai berikut, mulailah dengan kitab Allah SWT, kemudian Sunnah Rasul, kemudian ilmu tafsir serta ulum al-qur'an lainnya seperti ilmu nasikh dan mansukh, almufsal dan al-maushul, al-muhkam dan al-mutasyabih, dan sebagainya. Demikian juga dengan as-sunnah. Kemudian pelajarilah pula terhadap furu' yakni ilmu fiqh yang disepakati dalam madzhab, dan bukannya yang diperselisihkan, kemudian tentang ilmu ushul fiqh. ...ilmu-ilmu ini hanya merupakan alat atau mukaddimah saja. Ia dicari bukan karena pentingnya secara substansial, tapi semata-mata karena untuk meraih sesuatu yang lain.
f. Ilmu dalam wacana pengajaran.
Pemikiran aksiologis al-Ghazali tidak berhenti hanya pada nilai ilmu dalam wacana pembacaan, tetapi diikuti dengan penerapannya dalam wacana pengajaran. Ia misalnya menyarankan untuk mempelajari buku-buku berdasarkan urutan kesulitannya. Ia mengatakan bahwa buku-buku yang ada terdapat tiga tingkatan, yaitu yang cukup, lebih dari cukup, dan luas. Ia menilai bahwa kitab tafsir al-wajiz berada pada tingkatan cukup, kitab al-wasith berada pada tingkatan lebih dari cukup, dan selebihnya bisa dibaca orang yang memiliki target yang lebih tinggi yakni sengaja memperluas wawasan tafsirnya. Di bidang ilmu hadis ia menilai untuk tingkat pertama cukup membaca shahih Bukhari dan Muslim, baru pada tingkat kedua perlu membaca Musnad. Kitab-kitab lainnya bisa dipelajari bagi yang ingin mendalaminya. Sementara itu dalam disiplin Fiqh, ia menyarankan pada tingkatan pemula cukup membaca kitab Mukhtasya oleh al-Muzany, baru kemudian al-Wasith, dan terakhir yang ingin memperluas wawasannya bisa membaca al-Basith. Di bidang ilmu Kalam, untuk tingkat pemula cukup mempelajari kitab Qawaid al-'aqaid, baru kemudian al-iqtishad fi al-i'tiqad, dan bagi yang ingin memperdalam boleh membaca yang lain-lain.
Dari pemikirannya ini maka dapat disimpulkan bahwa nilai ilmu menurut al-Ghazali lebih bersifat pragmatis, artinya selalu dikaitkan dengan amaliah. Mengenai nilai instrinsik dan instrumental, secara teoritis al-Ghazali memungkinkan keduanya, tetapi dalam prakteknya hanya yang instrumental.
Kata AkhirDemikian ringkasan tulisan kami, insya Allah lain waktu dapat kita sempurnakan
Rabu, 26 Maret 2008
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
Aliran ketiga adalah Fenomenalisme yang dipelopori oleh Kant, yang berusaha mengidentifikasi kedua aliran tadi, dan kemudian menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan kedua cara itu, dengan memperhatikan jenis pengetahuan yang ada. Menurutnya terdapat empat jenis pengetahuan, yakni pengetahuan analisis a priori, pengetahuan sintesis a priori, pengetahuan analisis a posteri, dan pengetahuan sintesis a posteri. Pengetahuan a priori dapat diperoleh secara rasional-deduktif, namun untuk pengetahuan a posteri harus melalui pendekatan empiris. Aliran keempat adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Bergson menyatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui intuisi dengan jalan kontemplasi. Sifat dari pengetahuan intuisi ini lebih halus, diperoleh secara cepat dan langsung tanpa media. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat ditransformasikan maupun diuji validitasnya. Aliran kelima adalah metode ilmiah, yang terbagi menjadi idealisme epistemologis, realisme epistemologis, representasionisme, dan pragmatisme.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Dalam hal ini ada beberapa bidang pertanyaan, apakah nilai itu instrinsik ataukah instrumental. Yang kedua adalah teori yang mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tak dapat didefinisikan. Yang ketiga adalah teori bahwa nilai sebagai obyek suatu kepentingan. Dan yang terakhir adalah teori pragmatisme mengenai nilai.